Guru Sejati
![]() |
Bersama anak-anak Fef yang menginspirasi |
Baca juga: Kebijakan Full Day School
Sekiatar bulan Juni – Juli 2014, Bangsa Indonesia disuguhkan
lagi kasus kekerasan seks terhadap anak oleh oknum guru dan karyawan di Jakarta
Internasional School. Beberapa pekan kemudian lagi-lagi kasus yang sama
terjadi. Penyidik Polres Metro Jakarta Utara akhirnya menetapkan guru perempuan
Playgroup Saint Monica sebagai tersangka pelecehan seksual terhadap anak.
Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Kamis (7/8/2014), H didampingi 2 kuasa
hukum dan Kepala Sekolah Saint Monica mendatangi ruang Unit Perlindungan
Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Utara untuk menjalani pemeriksaan
perdana setelah ditetapkan sebagai tersangka, Rabu 6 Agustus 2014. Guru
perempuan berinisial H diduga melakukan pelecehan seksual terhadap salah satu
muridnya di sekolah taman bermain Saint Monica yang berinisial L. Kepada orang
tuanya, L mengaku dilucuti celananya dan dicabuli. Peristiwa tersebut membuat
korban mengalami trauma mendalam dan luka pada kemaluannya. Itulah guru zaman
ini, katanya si bertugas membentuk moral seorang anak didik agar bermoral namun
nyatanya sang mentor lebih tidak bermoral. Kisah pilu di dunia pendidikan tidak
berhenti pada 2 kasus tersebut; lansiran dari http://suaraflores.com
(30/6/2014) pun menyebutkan bahwa oknum kepala sebuah SMPN di Kabupaten Sikka,
Nusa Tenggara Timur (NTT) berinisial KM, melakukan uji keperawanan terhadap
puluhan siswa binaan di sekolah yang dipimpinya dengan memasukan jari ke dalam
alat kemaluan. Hal tersebut dilakukan karena ada dugaan kontak seksual antara
salah satu oknum guru bantu (LL) bersama salah seorang siswi berinisial
M. Sepekan kemudian kasus yang sama terjadi, kini guru di SDN 8 Baturaja yang
menghukum muridnya telanjang di depan kelas karena tidak mengerjakan pekerjaan
rumah. Kekerasan di STIP dan IPDN adalah bukti tentang sosok guru zaman ini.
Setidaknya dari pantauan saya di media elektonik, cetak maupun online dari
tahun 2013 hingga tahun 2014 ini kurang lebih 25 kasus kekerasan dalam dunia
pendidikan terjadi; baik secara psikis, fisik maupun seksual.
Litani tentang kekerasan seksual dari guru kepada siswa masih
bisa berlanjut, namun saya berada di sini bukan untuk “menelanjangi” satu
persatu kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan saat ini. Saya berada
di sini untuk mengingatkan kembali panggilan kita sebagai seorang guru (karena
saya pun seorang guru).
Baca Juga : Berkomunikasi dengan Anak Lewat Ras
Baca Juga : Berkomunikasi dengan Anak Lewat Ras
Guru, dalam hirarki spiritual tertinggi lazim di sapa tuan
guru adalah seseorang yang dipanggil secara khusus untuk mengajar dan mendidik.
Menjadi. guru itu gampang, namun menjadi guru sejati itu sangat sulit untuk
dinyatakan. Seseorang yang dengan kemampuan akademiknya untuk membekali peserta
didik dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Mengubah peserta didik ke arah
yang lebih positif dan bertanggung jawab.
Inilah idealisme masyarakat kita terhadap guru masa kini,
secara realistis banyak orang berbondong-bondong untuk menjkadi guru.
Setidaknya dihimpun dari data Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga
Pendidikan Kementerian Pendidikan, Surya Atmana menyampaikan sampai dengan awal
tahun 2014 di Indonesia terdapat 2,92 Juta guru, termasuk mereka yang bukan
lulusan guru namun mengambil akta mengajar kemudian dinyatakan sah menjadi
guru. 2,92 juta guru membuat rasio guru murid menjadi 1:14, artinya satu guru
mengajar 14 murid. Sebagai perbandingan di Malaysia rasionya 1: 20, Jepang 1:
32, Korea Selatan 1: 30, dan rasio rata-rata internasional 1: 32. Membludaknya
profesi guru tersebut adalah baik, namun untuk menjadi guru seperti Omar Bakri
yang dikisahkan oleh Iwan Fals bisa dihitung dengan jari.
Berbagai faktor yang mendorong seseorang menjadi guru antara
lain faktor panggilan, faktor ekonomi, dan ketermudahan lapangan kerja.
Panggilan menjadi guru dilihat dari keseluruhan, loyalitas dan pengabdian
terhadap bidang kerja sebagai pendidik dan pengajar. Menjadi guru karena
kebutuhan ekonomi nampak jelas dalam etos kerja seseorang pada bidang kerjanya
semata mengejar kebutuhan riel. Akhir bulan dapat gaji, dapur ngepul, yang
penting hadir dan lain sebagainya. Pandangan ini mempengaruhi iklim kerja di
suatu lembaga pendidikan.
Merosotnya mutu pendidikan dan hujatan masyarakat terhadap
wibawa guru. Kebutuhan riel bukan merupakan hasil kerja melainkan penghargaan
dari profesi profesional guru. Hasil kerja seorang guru secara filosofi dapat
dilihat dari ketulusan seorang siswa dalam menyayikan lagu Himne Guru di saat
upacara pelepasan siswa ke jenjang yang lebih tinggi. Secara kongkret ketika
lima tahun atau enam tahun kemudian mereka kembali ke sekolah mengenakan
seragam polisi, dokter atau namanya terpampang di televisi sebagai presenter;
itulah hasil kerja seorang guru secara nyata. Motivasi menjadi guru karena
tersedianya lowongan kerja, dorongan ini tidak kuat jika seorang guru
diperhadapkan dengan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan; terutama
kemampuan bertahan di daerah yang sulit terjangkau, informasi, komunikasi dan
transportasi. Guru yang berjiwa seperti ini adalag guru yang berbulan-bulan di
kota dan sehari di tempat tugas. Ciri-ciri guru jenis ini kita kenal dengan
tanggal muda di tempat tugas sedangkan tanggal tua berprofesi sebagai pebisnis
atau tukang ojek. Alasan yang dilontarkan pun tidak kalah logisnya gaji guru
tidak cukup (meski pemerintah telah menaikan gajinya) selalu saja tidak cukup.
Dampak yang nyata dirasakan adalah keluhan kekurangan guru di daerah-daerah
seperti kalimantan, Papua atau tempat-tempat terpencil lain di Indonesia.
Menjadi guru karena terpanggil adalah mereka yang dengan keyakinan penuh
melangkah ke tempat tugas. Mereka sadar bahwa di tengah hutan, di pesisir
pantai, di bawah kaki gunung ratusan anak Indonesia menunggu tuan guru datang
untuk menjadi juru penerang bagi mereka. Orang tua berharap sang guru bisa
menuntun anak-anak mereka agar keluar dari kegelapan pengetahun dan
keterbelakangan. Realitas ini dapat kita lihat dari filim Denias, Senandung di
Atas Awan karya sutradara John de Rantau yang menceritakan masalah pendidikan
di pedalaman Papua. Hal yang sama kita temui dalam filim Laskar Pelangi karya
novelis Andrea Hirata yang menceritakan sosok IBu Muslimah yang bertahan dalam
kesulitan karena sadar bahwa dia adalah guru, cermin bagi 10 siswa di Belitung yang
penuh mimpi dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Guru juru mudi yang bertugas membimbing anak dan remaja untuk
mewujudkan mimpi mereka dan mimpi seluruh Bangsa Indonesia. Menjadi guru sejati
hatinya akan dipandu oleh moral yang baik karena guru adalah cermin dari siswa.
Pandu aksi karena di tangan tuan guru masa depan bangsa dititipkan. Pandu arti
sang guru dapat memaknai apa yang dikerjakan bukan untuk manusia melainkan
untuk Tuhan sesuai dengan keyakinan guru yang bersangkutan. “Murid yang baik
adalah cermin dari guru yang hebat”. ***
Baca Juga:
Baca Juga:
0 Response to "Guru Sejati"
Posting Komentar